Biarkan begini
Aku memang terbiasa
begini. Hatiku sudah membiasakan diri tak berada di hati manapun. Pada
siapapun. Bukan aku tak mau membukanya. Hanya saja, semua pintu tertutup.
Bahkan sebelum aku sempat mengetuknya. Aku merasa baik-baik saja. Semua
berjalan bahagia-bahagia saja. Bukan karena aku tak membutuhkannya, namun
memang sudah terbiasa. Semua terasa biasa setelah ia memaksaku membiasakan
diri. Waktu mengajariku dengan baik. Dan aku cepat sekali belajar. Menjalani
hari dengan hati begini. Tak ada senyum yang ku nanti. Tak ada mata yang ingin
ku tatap setiap pagi. Tak ada canda yang ku harapkan untuk menemani. Dulu
memang ada. Iya, dulu. Walau aku masih merasakannya seperti baru kemarin.
Namun kini semuanya
berbeda. Terlihat berbeda. Entah benar-benar berbeda atau tidak. Spertinya
sudah tidak hampa. Aku gunakan kata sepertinya karena memang belum yakin benar.
Karena memang bukan yang ku mau. Bukan dari arah yang ku harapkan. Bukan dari
sesuatu yang ku impikan. Bukan darinya yang ku pinta. Aku memejamkan mata sejenak.
Aku harus bertanya pada diriku. Apa aku inginkannya atau inginkan bahagia? Oh,
mengapa tak bisa dua-duanya saja?
Kini aku kembali
terbiasa. Ia tiba-tiba saja membuatku terbiasa bahagia. Meski masih abu-abu.
Aku tak peduli. Sekeras apapun aku mengelak, nyatanya senyumku menyeruak. Meski
bukan dari yang ku pinta. Tak mengapa. Bahagia datang darimana saja bukan? Iya,
aku tahu persis itu. Aku tak mau terlalu jauh. Aku tak ingin terjerembab lagi.
Aku sudah merasakan letihnya bangkit. Aku sudah merasakan lelahnya memaksa
hati.
Jangan buat aku harus
membiasakan diri dengan hampa lagi. Jangan. Aku tak mau membiasakannya lagi.
Biarkan begini. Tetap begini. Jangan ambil bahagiaku lagi. Siapapun. Tetap buat
hatiku merasa dimiliki. Aku benar-benar tak mau jika harus membiasakan diri
lagi. Hati siapa yang mau hampa selamanya? Aku mohon. Tetap begini