Entah apa yang
membawaku menyelami waktu. Menemani anganku melayang menelusuri cerita lalu.
Hingga samapai pada satu waktu. Waktu yang dulu memang punyaku.
Saat itu, aku ingat
betul saat itu. Saat pertama kita bertemu. Saat mataku masih kosong menatapmu.
Saat detak jantungku masih biasa saja bila melihatmu. Saat aku belum tersentuh
sapamu. Namun memang sudah ada pertanda akan ada sesuatu terjadi padaku
nantinya.
Saat itu, kau berjalan
tepat di hadapanku. Tak menoleh sedikitpun. Aku melihatmu, lalu hatiku berujar
“aku ingin jadi temanmu.” Mungkin ucapan dalam hati itu menjadi semacam do’a
yang sebenarnya aku tak terobsesi menjadikannya nyata. Namun, memang Tuhan
mengabulkan do’aku.
Tak ingat pasti selang
waktu setelah itu, aku hanya tahu itu sebentar. Tiba-tiba, candamu sudah
memenuhi ruang hatiku. Mengisi setiap jengkal jiwaku yang sepi. Memenuhi setiap
inci batinku yang kosong. Menjamah setiap bait nyanyian sukmaku yang rindu.
Dan, sejak saat itu, semuanya mulai berubah.
Aku mulai terbiasa
melewati hari bersamamu, pencipta senyumku. Apapun yang dilakukanmu, membawakan
bahagia ke pangkuanku. Senyummu berhasil membekas terlalu dalam di hatiku.
Semuanya indah. Hariku bahkan lebih dari indah. Kesederhanaan perangaimu
mengajarkanku tentang kesederhanaan kebahagiaan. Dekat. Aku merasa amat dekat
denganmu. Aku merasa diterima di hidupmu. Teman. Teman membuat batas-batas itu
semakin kabur. Kita, semakin tak ada batasan nyata. Dan, hatikupun mulai sulit
membedakan batas-batas rasa.
Hatiku mulai resah bila
senyummu tak singgah di tatapanku. Aku resah kala candamu hilang dari hariku.
Ada gejolak yang berbeda ketika aku di dekatmu. Ketika jemariku tanpa komando
memukul ringan lenganmu jika kau menjahiliku. ketika senyumku berubah menjadi
muram jika kau mengejekku. Namun, ku nilai itu sebagai jalan untuk ku bisa
terus dekat denganmu. Kau buat marahku menjadi indah. Kau buat kesalku menjadi
manis. Manis, manis sekali.
Tak lama setelah canda
kita menyatu, tak lama setelah tawa kita bersanding. Di sela-sela cerita indah
itu aku mengambil keputusan. Hatiku memaksaku memutuskan hal itu. Sesuatu yang
sebenarnya telah ku duga membawa derita kelak. Namun aku tak bisa mengelak.
Karena aku tahu, hatiku telah jatuh kepadamu.
Ya, aku mencintaimu.
Cinta yang awalnya ku yakini hanya sesaat. Hanya cinta yang mudah berlalu
tertiup angin ragu. Cinta yang mudah pergi. Sayangnya aku salah. Nyatanya, cintaku
tak begitu.
Kau tahu berapa lama
rasaku tertahan? Kau tahu berapa lama namamu melekat di hati? Kaupun tahu
berapa lama. Bahkan aku tak dapat merangkai kata untuk menggambarkan seberapa
besar dan dalam rasaku ini. Untuk bagian ini, aku tak bisa bercerita. Sudah
habis ceritaku ditelan rindu, dimakan air mata.
Hingga waktu memaksaku
membiasakan diri tanpa senyummu. Hingga keadaan membuatku tak tahu kapan lagi
bisa menatapmu. Rasaku tetap sama, selalu sama. Hanya rindu yang berbeda. Rindu
yang menjadi lebih dalam, lebih menyesakkan.
Betapa aku ingin
memutar waktu. Kembali ke masa dimana senyummu adalah senyumku. Meski hatimu
tak pernah ku miliki, setidaknya aku sudah pernah ada di hidupmu, di tempat
yang tak istimewa. Kendati dirimu, sudah pasti dapat tempat terindah di
hidupku. Hingga nanti.
Hanya butuh satu
senyuman untuk bisa menjatuhkan hati padamu. Namun, jutaan air mata bahkan tak
pernah cukup membuatku melupakanmu.
Mengapa keadaan punya
daya yang begitu besar untuk membentengkan jarak antara kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar