kenangan itu
Sudah berapa malam yang
aku habiskan untuk mengenangmu? Memutar kembali lembaran-lembaran cerita
sederhana yang pernah ku lalui bersamamu. Meski tak pernah terjalin kisah
indah, tak membuat kita tak merangkai cerita. Anganku melayang menembus waktu. Menelusuri
jalan-jalan cerita yang pernah aku lalui. Mungkin tak banyak. Namun begitu
berbekas. Nyata sekali.
Pun malam ini. Aku masih
terjaga. Senyumku menyeruak sendirinya kala ku ingat betul senyummu. Aku ingat
ketika dulu berbagi tawa denganmu. Melalui hari-hari dengan canda bahagia. Aku
ingat betul hal-hal sederhana yang akhirnya membuat tawaku pecah. Aku ingat
betul ketika kita berseteru untuk hal-hal yang tak perlu diperdebatkan. Namun
itulah bahagiaku. Dekat denganmu melalui setiap canda yang kamu lemparkan.
Sejenak kemudian
senyumku berubah. Berganti dengan pipi yang mulai basah. Bukan kenangan
tentangmu tak indah. Namun aku benci keadaan. Keadaan yang memaksaku untuk tak
dapat merasakan bahagia itu lagi. Sebab kini bahkan aku lupa kapan terakhir kali
mataku menangkap senyummu. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kali tawaku pecah
oleh candamu.
Waktu memang berputar
lebih cepat dari yang kuduga. Menelan setiap cerita yang ku mau tanpa akhir,
sebenarnya. Namun memang sudah hukum alam bukan? Kalau waktu memang punya daya
untuk menenggelamkan semuanya. Hingga tak tersisa.
Aku tak perlu menanyakan
apakah kau juga kerap mengingat semuanya? Sebab aku tahu kau pasti tak punya
waktu untuk mengingatnya. Hal yang tak ada artinya dimatamu sudah pasti tak
punya tempat untuk kau simpan di hatimu. Mungkin bahkan kini kau lupa di
duniamu sempat ada aku.
Kadang aku tak bisa
menerima kenyataan bahwa sumber bahagiaku kini berkurang satu. Aku rasa tak
adil jika aku harus mendapati bahwa semuanya tak mungkin terulang. Tapi aku
tahu. Aku percaya. Akan ada sumber kebahagiaan lainnya. Walau mungkin tak aka
pernah sama rasanya.
Jika kau mau tau, waktu
yang kita habiskan untuk membantumu memahami matematika itu kebahagiaan
untukku. Jika kau sadar, setiap ulah jahilmu yang membuatku marah itu
kebahagiaan untukku. Jika kau mengerti, ceritamu yang antusias tentangnya itu
menuai tangis di tiap malamku. Jika saja kau pahami, semua yang ku lakukan dulu
selalu untukku, dan hanya untukmu. Kamu fikir, waktu yang ku luangkan untukmu
itu bukan pengorbanan? Kamu fikir, menahan sesak saat melihatmu menatapnya itu
bukan pengorbanan? Kamu fikir, memendam rasa demi terjaganya persahabatan itu
bukan pengorbanan? Dan kamu fikir, bertahan dengan rasa yang sama hingga saat
ini bukan pengorbanan?
Aku tau cinta tak
seharusnya hitung-hitungan. Aku faham jika ketulusan itu mestinya tanpa
imbalan. Tapi bukankah setiap pengorbanan itu harusnya berbuah kebahagiaan?
Bukankah rasa yang dalam itu berhak diterima? Mana hakku? Mana bahagiaku?
Tak ada gunanya memaksamu
mengetahui. sebab rasaku sudah terlampau lelah. Aku sadar bahwa cinta tak harus
begini. Aku berhak atas kebahagiaan lain diluar soal dirimu. Toh, pencipta
tawaku masih banyak.
Aku hanya tak mau
melihatmu menyesal. Aku tak mau kau menyadarinya saat semua sudah terlambat.
Mungkin lebih baik kau tak pernah mengetahuinya sama sekali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar